Makanan Cepat Saji dan Ancaman Kesehatan bagi Remaja
4 jam lalu
Mereka mengaku rutin mengonsumsi burger, kentang goreng. Padahal kandungan nutrisinya rendah plus lemak jenuh, gula, dan garam di level tinggi.
***
Wacana ini ditulis oleh Meysila Asti Pratiwi, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Nadia Saphira, Amanda Aulia Putri, Naysila Prasetio, Winda Yulia Gitania Br Sembiring, dan Annisa Br Bangun dari IKM 5 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.
Dalam sebuah wawancara singkat dengan beberapa remaja di pusat kota, mereka mengaku rutin mengonsumsi burger, kentang goreng, dan minuman bersoda hampir setiap minggu. Menurut mereka, makanan cepat saji bukan hanya soal rasa, melainkan bagian dari gaya hidup modern yang praktis, murah, dan mudah dijangkau. Fenomena ini mencerminkan bagaimana popularitas restoran cepat saji dan kampanye media sosial membentuk perilaku konsumsi di kalangan remaja, di mana faktor kenyamanan, harga, dan pengaruh teman sebaya turut memperkuat keputusan mereka untuk memilih makanan instan daripada masakan sehat.
Masalah utama dari pola konsumsi ini terletak pada kandungan nutrisi makanan cepat saji yang cenderung rendah, sementara lemak jenuh, gula, garam, dan kalori berada pada level tinggi. Proses pengolahan melalui penggorengan berulang serta penggunaan bahan tambahan seperti pengawet dan perasa buatan semakin menurunkan nilai gizinya. Sebagai ilustrasi, satu porsi burger lengkap dengan kentang goreng dan minuman bersoda dapat mengandung lebih dari seribu kalori, yang jika dikonsumsi secara rutin tanpa aktivitas fisik memadai akan menimbulkan risiko obesitas, gangguan metabolik, dan berbagai penyakit kronis di usia muda.
Dampak kesehatan dari konsumsi makanan cepat saji dapat terlihat dalam jangka pendek maupun panjang. Secara jangka pendek, tubuh merespons dengan gangguan pencernaan akibat rendah serat, kelelahan karena kadar gula yang tinggi, gangguan tenggorokan, hingga munculnya jerawat akibat konsumsi lemak dan gula berlebih. Sementara dalam jangka panjang, efeknya lebih serius: obesitas meningkat, kolesterol tinggi memicu risiko penyakit jantung dan stroke, diabetes tipe 2 muncul akibat konsumsi gula berlebihan, hipertensi menjadi ancaman karena kadar garam tinggi, dan potensi kanker pada sistem pencernaan meningkat. Selain itu, kesehatan gigi dan tulang menurun, risiko gangguan pernapasan akibat obesitas bertambah, bahkan kesuburan pada wanita bisa terpengaruh.
Fenomena ini tidak hanya merupakan persoalan pilihan individu, tetapi juga produk dari industri makanan yang secara sistematis memengaruhi selera konsumen. Iklan yang menampilkan artis idola, promosi makanan viral melalui aplikasi pesan-antar, hingga tren media sosial membentuk preferensi remaja, sementara pesan kesehatan jarang dikemas secara menarik. Akibatnya, kebiasaan mengonsumsi junk food sering dianggap normal dan bagian dari gaya hidup, padahal frekuensi konsumsi yang tinggi dan tidak diimbangi pola makan seimbang menciptakan kebiasaan buruk yang menumpuk risiko penyakit kronis.
Mencegah dampak buruk ini bukan berarti harus sepenuhnya menghindari makanan cepat saji. Kuncinya terletak pada keseimbangan dan kesadaran. Konsumsi sesekali dengan tetap memperhatikan asupan nutrisi harian, menambahkan sayur dan buah, serta menjaga aktivitas fisik dapat mengurangi dampak negatif. Beberapa strategi praktis yang dapat diterapkan remaja meliputi perencanaan menu sehat mingguan untuk mengurangi dorongan membeli makanan instan, pengaturan porsi yang lebih kecil saat mengonsumsi fast food, serta memilih menu alternatif lebih sehat seperti salad sayur atau buah saat makan di restoran cepat saji.
Akhirnya, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kesehatan adalah investasi jangka panjang. Mengurangi ketergantungan pada makanan cepat saji bukan hanya soal disiplin individu, tetapi juga kesadaran kolektif untuk mengubah kebiasaan makan, mendukung kampanye gizi seimbang, dan menciptakan lingkungan yang memudahkan pilihan sehat. Dengan pendekatan yang tepat, makanan cepat saji tidak harus menjadi ancaman, melainkan pilihan yang tetap dapat dinikmati secara bijak. Remaja perlu memulai sejak sekarang bahwa menjaga kesehatan adalah tindakan strategis, bukan sekadar menghindari penyakit hari ini, melainkan menyiapkan tubuh untuk produktivitas, kualitas hidup, dan kesejahteraan di masa depan.
Corresponding Author: Meysila Asty Pratiwi ([email protected])

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler